Penerapan Sistem
Keluarga Berencana di Indonesia
A.1. Pengertian Keluarga Berencana
Keluarga Berencana (KB)
merupakan suatu program pemerintah yang dirancang untuk menyeimbangkan antara
kebutuhan dan jumlah penduduk. Program keluarga berencana oleh pemerintah
adalah agar keluarga sebagai unit terkecil kehidupan bangsa diharapkan menerima
Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada
pertumbuhan yang seimbang. Gerakan Keluarga Berencana Nasional Indonesia telah
berumur sangat lama yaitu pada tahun 70-an dan masyarakat dunia menganggap
berhasil menurunkan angka kelahiran yang bermakna. Perencanaan jumlah
keluarga dengan pembatasan yang bisa dilakukan dengan penggunaan alat-alat
kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran seperti kondom, spiral, IUD, dan
sebagainya.
Adapun
beberapa jenis alat kontrasepsi, antara lain :
- Pil (biasa dan menyusui) yang mempunyai manfaat tidak mengganggu hubungan seksual dan mudah dihentikan setiap saat. Terhadap kesehatan resikonya sangat kecil.
- Suntikan (1 Bulan dan 3 Bulan) sangat efektif (0,1-0,4 kehamilan per 100 perempuan) selama tahun pertama penggunaan. Alat kontrasepsi suntikan juga mempunyai keuntungan seperti klien tidak perlu menyimpan obat suntik dan jangka pemakaiannya bias dalam jangka panjang.
- Implan (susuk) yang merupakan alat kontrasepsi yang digunakan dilengan atas bawah kulit dan sering digunakan pada tangan kiri. Keuntungannya daya guna tinggi, tidak mengganggu produksi ASI dan pengembalian tingkat kesuburan yang cepat setelah pencabutan.
- AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) merupakan alat kontrasepsi yang digunakan dalam rahim. Efek sampingnya sangat kecil dan mempuyai keuntungan efektivitas dengan proteksi jangka panjang 5 tahun dan kesuburan segera kembali setelah AKDR diangkat.
- Kondom, merupakan selubung/sarung karet yang dapat terbuat dari berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastik (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Manfaatnya kondom sangat efektif bila digunakan dengan benar dan murah atau dapat dibeli secara umum.
- Tubektomi adalah prosedur bedah mini untuk memotong, mengikat atau memasang cincin pada saluran tuba fallopi untuk menghentikan fertilisasi (kesuburan) seorang perempuan. Manfaatnya sangat efektif, baik bagi klien apabila kehamilan akan terjadi resiko kesehatan yang serius dan tidak ada efek samping dalam jangka panjang.
A.2 Tujuan Keluarga berencana (KB)
A.2.1 Tujuan umum
Meningkatkan kesejahteraan ibu, anak dalam rangka mewujudkan
NKKBS (Normal Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) yang menjadi dasar terwujudnya
masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin
terkendalinya pertambahan penduduk.
A.2.2 Tujuan khusus
- Meningkatkan jumlah penduduk untuk menggunakan alat kontrasepsi.
- Menurunnya jumlah angka kelahiran bayi.
- Meningkatnya kesehatan keluarga berencana dengan cara penjarangan kelahiran
A.3 Perkembangan
KB di Indonesia
A.3.1 Latar Belakang
Latar belakang atau dasar pemikiran lahirnya KB
di Indonesia adalah adanya permasalahan kependudukan. Aspek-aspek yang penting
dalam kependudukan adalah:
- Jumlah besarnya penduduk
- Jumlah pertumbuhan penduduk
- Jumlah kematian penduduk
- Jumlah kelahiran penduduk
- Jumlah perpindahan penduduk
A.3.2 Sejarah Perkembangan KB di Indonesia
- Periode Perintisan dan Peloporan
- Periode Persiapan dan Pelaksanaan
A.3.2.1 Periode Perintisan dan Pelaporan
- Sebelum 1957 – Pembatasan kelahiran secara tradisional (penggunaan ramuan, pijet, absistensi/ wisuh/ bilas liang senggama setelah coitus).
- Perkembangan birth control di daerah – Berdiri klinik YKK (Yayasan Kesejahteraan Keluarga) di Yogyakarta. Di Semarang : berdiri klinik BKIA dan terbentuk PKBI tahun 1963. Jakarta : Prof. Sarwono P, memulai di poliklinik bagian kebidanan RSUP. Jawa dan luar pulau Jawa (Bali, Palembang, Medan).
A.3.2.2 Periode Persiapan dan Pelaksanaan
Terbentuk LKBN (Lembaga Keluarga
Berencanan Nasional) yang mempunyai tugas pokok mewujudkan kesejahteraan
sosial, keluarga
dan rakyat. Bermunculan proyek KB sehingga mulai diselenggarakan latihan
untuk PLKB (Petugas Lapangan keluarga Berencana).
Organisasi KB
- PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)
- BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional)
PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)
Terbentuk tanggal 23 Desember 1957, di jalan Sam Ratulangi
No. 29 Jakarta. Atas prakarsa dari dr. Soeharto yang didukung oleh Prof.
Sarwono Prawirohardjo, dr. H.M. Judono, dr. Hanifa Wiknjosastro serta Dr.
Hurustiati Subandrio. Pelayanan yang diberikan berupa nasehat perkawinan termasuk pemeriksaan
kesehatan
calon suami isteri, pemeriksaan dan pengobatan
kemandulan dalam perkawinan dan pengaturan kehamilan.
Visi PKBI
- Mewujudkan masyarakat yang sejahtera melalui keluarga.
Misi PKBI
- Memperjuangkan
penerimaan dan praktek keluarga bertanggungjawab dalam keluarga
Indonesia melalui pengembangan program, pengembangan jaringan dan kemitraan dengan semua
pihak pemberdayaan masyarakat di bidang kependudukan secara umum, dan secara
khusus di bidang kesehatan reproduksi yang berkesetaraan
dan berkeadilan gender.
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional)
Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1970 tentang pembentukan
badan untuk mengelola program KB yang telah dicanangkan sebagai program
nasional. Penanggung jawab umum penyelenggaraan program
ada pada presiden dan dilakukan sehari-hari oleh Menteri Negara Kesejahteraan
Rakyat yang dibantu Dewan Pembimbing Keluarga
Berencana.
Dasar pertimbangan pembentukan BBKBN
- Program keluarga berencana nasional perlu ditingkatkan dengan jalan lebih memanfaatkan dan memperluas kemampuan fasilitas dan sumber yang tersedia.
- Program perlu digiatkan pula dengan pengikut sertaan baik masyarakat maupun pemerintah secara maksimal.
- Program keluarga berencana ini perlu diselenggarakan secara teratur dan terencana kearah terwujudnya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Tugas pokok BBKBN
- Menjalankan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi terhadap usaha-usaha pelaksanaan program keluarga berencana nasional yang dilakukan oleh unit-unit pelaksana.
- Mengajukan saran-saran kepada pemerintah mengenai pokok kebijaksanaan dan masalah-masalah penyelenggaraan program Keluarga Berencana Nasional.
- Menyusun Pedoman Pelaksanaan Keluarga Berencana atas dasar pokok-pokok kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
- Mengadakan kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara asing maupun badan-badan internasional dalam bidang keluarga berencana selaras dengan kepentingan Indonesia dan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
- Mengatur penampungan dan mengawasi penggunaan segala jenis bantuan yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pelita I yaitu tahun 1969-1974 daerah program
Keluarga
Berencana meliputi 6 propinsi yaitu Jawa Bali (DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali). Merupakan daerah
perintis dari BKKBN. Tahun 1974 muncul program-program
integral (Beyond Family Planning) dan gagasan tentang fase program
pencapaian akseptor
aktif. Berdasar
Keppres 38 tahun 1978 BKKBN bertambah besar jangkauan programnya tidak terbatas
hanya KB
tetapi juga program
Kependudukan.
Perkembangan BBKBN dimasa sekarang
VISI
- Keluarga berkualitas 2015.
MISI
- Membangun
setiap keluarga
Indonesia untuk memiliki anak
ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan dan terpenuhi hak-hak
reproduksinya melalui pengembangan kebijakan,
penyediaan layanan promosi, fasilitasi, perlindungan, informasi
kependudukan dan keluarga,
serta penguatan kelembagaan dan jejaring KB.
Tugas pokok
- Melaksanakan
tugas pemerintahan dibidang keluarga berencana dan keluarga
sejahtera sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Landasan hukum
TAP MPR No. IV/1999 ttg GBHN; UU No. 22/1999 ttg
OTODA; UU No. 10/1992 ttg PKPKS; UU No. 25/2000 ttg PROPENAS; UU No. 32/2004
ttg PEMERINTAHAN DAERAH; PP No. 21/1994 ttg PEMBANGUNAN KS; PP No. 27/1994 ttg PERKEMBANGAN
KEPENDUDUKAN; KEPPRES No. 103/2001; KEPPRES No. 110/2001; KEPPRES No. 9/2004;
KEPMEN/Ka.BKKBN No. 10/2001; KEPMEN/Ka.BKKBN No. 70/2001
Filosofi BBKBN
- Menggerakkan peran serta masyarakat dalam keluarga
berencana.
Grand Strategi:
- Menggerakkan dan memberdayakan seluruh masyarakat dalam program KB.
- Menata kembali pengelolaan program KB.
- Memperkuat SDM operasional program KB.
- Meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui pelayanan KB.
- Meningkatkan pembiayaan program KB.
Nilai-nilai yang terkandung dalam grand
strategi adalah integritas, energik, profesional kompeten,
partisipatif, konsisten, organisasi pembelajaran, kreatif/ inovatif. Kebijakan
dari adanya grand strategi adalah pndekatan pemberdayaan,
pendekatan desentralisasi, pendekatan kemitraan, pendekatan kemandirian,
pendekatan segmentasi sasaran, pendekatan pemenuhan hak (rightbased), pendekatan
lintas sektor.
Strategi
- Re-Establishment adalah mmbangun kembali sendi-sendi pogram KB nasional sampai ke tingkat lini lapanngan pasca penyerahan kewenangan.
- Sustainability adalah memantapkan komitmen program dan kesinambungan dukungan oleh segenap stakeholders dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah.
Tujuan
Tujuannya
adalah:
- Keluarga dengan anak ideal.
- Keluarga sehat.
- Keluarga berpendidikan.
- Keluarga sejahtera.
- Keluarga berketahanan.
- Keluarga yang terpenuhi hak-hak reproduksinya.
- Penduduk tumbuh seimbang (PTS )
Program KB
- Keluarga berencana
- Kesehatan reproduksi remaja
- Ketahanan dan pemberdayaan keluarga
- Penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas
- Keserasian kebijakan kependudukan
- Pengelolaan SDM aparatur
- Penyelenggaran pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan
- Peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara
A.4 Analisis
Pencapaian Sistem Keluarga Berencana di Indonesia
Keluarga
Berencana (KB) menjadi gerakan global sejak 1968 di tengah ancaman ledakan
penduduk dunia (lihat tulisan Paul Ehrlich The Population Bomb [1968] dan
Gareth Hardin, Tragedy of the Commons [1968]).
Kenapa KB? Seperti diketahui, di luar faktor mobilitas, pertumbuhan
penduduk dihitung dari selisih antara fertilitas dan mortalitas. Membiarkan mortalitas tetap tinggi untuk
tujuan demografis menekan laju pertumbuhan penduduk sudah barang tentu bukanlah
solusi yang manusiawi. Sementara itu
peningkatan kesejahteraan masyarakat akan selalu berakibat pada turunnya angka
mortalitas. Karena itu pengendalian
pertumbuhan penduduk hanya dapat dilakukan dari sisi fertilitasnya, dalam hal
ini melalui sosialisasi teknologi pengendalian kehamilan (kontrasepsi). Inilah KB yang pada umumnya kita pamahi.
Pandangan seperti inipun masih tetap relevan untuk konteks Indonesia saat
ini. Tren fertilitas yang cenderung
stagnan pada angka 2,3 (SDKI 2002-3 dan 2007 setelah dikoreksi Hull &
Mosley [2008]) cukup membuat banyak orang khawatir akan kemungkinan terjadinya
ledakan penduduk jilid dua. Karena itu
revitalisasi program KB menjadi suatu pilihan yang tidak terelakkan.
Tetapi jarang ditekankan bahwa
sejatinya keluarga berencana adalah gerakan kemanusiaan karena gerakan tersebut didasarkan pada prinsip
kemanusiaan universal yaitu kebebasan individu atau keluarga dalam mengambil
keputusan: “Parents have a basic right to
decide freely and responsibly on the number and spacing of their children and a
right to adequate education in this respect” (The International Conference
on Human Rights in Teheran in 1968). Tidak heran jika tahun
tersebut ditetapkan sebagai The Year of Human Rights.
Keluarga Berencana adalah gerakan revolusioner tidak hanya
dalam arti demografis (mengubah pola fertilitas dan struktur penduduk secara
mendasar), tetapi juga dalam arti kultural
(mengubah sikap hidup masyarakat secara mendasar dari fatalisme—hamil
dan mempunyai anak adalah takdir—menjadi positivisme—manusia mempunyai otonomi
atas tubuhnya sendiri dan mampu memutuskan secara mandiri dan rasional kapan
hamil dan mempunyai anak berapa). Inilah
dimensi kemanusiaan dan moral dari gerakan KB yang tidak boleh diabaikan. Setiap individu apapun latar belakang
ekonomi, sosial, agama, etnisitas, gender, atau status perkawinannya, harus
diakui, dihormati, dan dipenuhi hak-hak dasarnya untuk mengontrol tubuhnya
sendiri untuk mencapai situasi kesehatan reproduksi yang ideal, termasuk dalam
membuat pilihan tentang kehamilan, kelahiran, jumlah anak, dan penggunaan
kontrasepsi. Dimensi kemanusiaan atau
moralitas dari gerakan KB ini tidaklah cukup diletakkan sebagai alat atau cara
(means) untuk tujuan demografis yang sewaktu-waktu bisa ditinggalkan demi
tujuan demografis tersebut, tetapi harus diletakkan sebagai suatu tujuan yang
berdiri sendiri dan tidak dapat dilanggar (inviolable goal).
Sayangnya di Indonesia
keluarga berencana lebih berhasil mencapai tujuan demografisnya, kurang pada
tujuan-tujuan kemanusiaan dan moralnya. Indonesia termasuk negara yang mampu
menorehkan sejarah emas keluarga berencana dengan menurunkan angka fertilitas
secara sangat signifikan dari 5,6 di awal program (1970) menjadi 2,3 (hasil
SDKI 2007 menurut perhitungan Hull & Mosley).
Namun
dalam banyak kasus keberhasilan itu (terutama di era Orde Baru) dicapai melalui
cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan yang
menjadi landasan dari gerakan KB tersebut (berbagai bentuk pemaksaan oleh
aparat pemerintah kepada warga [PUS] untuk menjadi akseptor atau menggunakan
kontrasepsi tertentu).
KEBEBASAN DAN TANGGUNGJAWAB DALAM
KELUARGA BERENCANA
Keluarga
Berencana dikembangkan untuk dua misi utama, menurunkan fertilitas dan
meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Agar kedua misi tersebut tercapai, setiap individu harus dijamin haknya
untuk membuat keputusan secara bebas dan bertanggungjawab (right to decide freely and responsibly) terhadap hal-hal yang
menyangkut proses reproduksinya. Akan tetapi, kata freely (secara bebas) dan responsibly
(secara bertanggungjawab) adalah sepasang kata yang penuh kontradiksi.
Dalam
praktik, penerapan satu asas dapat menegasikan penerapan asas lainnya. Artinya, penerapan asas kebebasan dapat
berarti tidak bertanggungjawab, dan sebaliknya penerapan asas tanggungjawab
dapat berarti membatasi kebebasan.
Karena kontroversi dari kedua nilai tersebut, gerakan keluarga berencana
sering terperangkap pada kecenderungan double
standard dalam mengambil suatu sikap.
Terhadap kekuatan luar yang membatasi kecenderungan individu untuk
mengatur kelahiran melalui penggunaan kontrasepsi, asas kebebasan yang
dipakai. Inipun, untuk konteks
Indonesia, hanya berlaku untuk PUS resmi, bukan terhadap perempuan yang belum
atau tidak menikah. Akan tetapi,
terhadap kekuatan yang mendorong individu untuk membuat keputusan yang
bertentangan dengan keinginan program (mempunyai anak yang lebih banyak,
memilih kontrasepsi yang tidak sesuai dengan prioritas program), maka asas
tanggungjawablah yang dipakai.
Selain
itu, kata tanggungjawab (responsibility)
itu sendiri mengandung ketidakjelasan atau kontroversi: bertanggungjawab dalam
hal apa dan kepada siapa? Siapa yang
mempunyai otoritas untuk menafsirkan apakah suatu keputusan atau perilaku itu
bertanggunjawab atau tidak? Pada konferensi
di Teheran (1968), kata responsibility
dibiarkan tanpa definisi. Pada konferensi
di Bucharest (1974) dan di Mexico City (1984) arti pertanggungjawaban dikaitkan
dengan implikasi individual atau social dari pilihan menyangkut proses
reproduksi. Artinya, suatu keputusan
individu untuk mempunyai anak atau untuk menentukan jumlah anak dikatakan
bertanggungjawab jika dengan keputusan tersebut kesejahteraan diri, anak-anak,
dan masyarakatnya tidak dikorbankan.
Any recognition of rights also
implies responsibilities: in this case, implies that couples and individuals
should exercise this right, taking into consideration their own situation, as
well as the implications of their decisions for balanced development of their
children and of the community and society in which they live.
Dalam
deklarasi di atas suatu pasangan dan individu dikatakan bertanggungjawab jika
dalam menggunakan haknya mempertimbangkan situasinya sendiri (apakah penggunaan
hak tersebut merugikan dirinya apa tidak), dan juga mempertimbangkan akibatnya
terhadap anak dan masyarakat. Definisi
demikian pun masih mengundang multi-interpretasi. Konsekuensi individu atau sosial seperti apa
yang dikatakan positif atau negatif sehingga dapat dinilai bahwa suatu
penggunaan hak individu itu bertanggungjawab atau tidak? Ada kasus tertentu
yang tidak mengundang kontroversi, misalnya tidaklah bertanggungjawab jika
seorang perempuan memutuskan untuk hamil padahal tahu kondisi kesehatannya
lemah sehingga kehamilan dapat mengancam jiwanya. Namun dapat terjadi suatu kontroversi jika
masalahnya adalah sebagai berikut:
·
Apakah
bertanggungjawab jika negara tidak memberi akses pelayanan KB kepada perempuan
di luar nikah padahal diketahui bahwa perempuan tersebut sexually active dan potensial mengalami kehamilan tidak
dikehendaki?
·
Apakah
bertanggungjawab jika karena pertimbangan kesehatan (kematian, sakit yang lebih
parah, janin cacat), kehormatan (menjadi korban pemerkosaan atau incest), atau
masa depan perempuan hamil (karena masih sekolah), seorang perempuan memutuskan
untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki?
·
Apakah
bertanggungjawab jika negara secara sengaja menutup pintu bagi tersedianya
pelayanan aborsi yang aman dan membiarkan banyak perempuan menerima pelayanan
aborsi yang tidak aman dengan konsekuensi lebih jauh, yaitu tingginya angka
mortalitas ibu?
·
Siapa yang
mempunyai otoritas untuk membuat keputusan reproduksi (hamil, melahirkan,
mengakhiri kehamilan, atau menggunakan kontrasepsi) dan menilai apakah
keputusan tersebut bertanggungjawab: apakah perempuan itu sendiri, pasangannya,
institusi agama, ataukah negara?
ICPD KAIRO 1994
The International Conference on
Population and Development (ICPD)
Kairo 1994 telah menghasilkan suatu kesepakatan global, yang disebut Cairo Consensus, yang mengintegrasikan
isu-isu kependudukan, pembangunan, dan hak-hak asasi manusia ke dalam suatu
cetak biru aksi 20 tahun. Sekarang kita
berada di tahun ke 15 dan hanya 5 tahun tersisa untuk dapat mengimplementasikan
secara penuh kesepakatan tersebut. Karena
itu sudah selayaknya kita melakukan refleksi kembali seberapa jauh cetakbiru
tersebut telah terimplementasi di Indonesia?
Konsensus
Kairo menempatkan manusia individual (individual
human beings) dalam posisi sangat sentral (in the very heart) dari upaya pembangunan. Dinyatakan bahwa jika kebutuhan pelayanan
keluarga berencana dan kesehatan reproduksi bagi semua individu terpenuhi maka
penduduk stabil akan tercapai dengan sendirinya, tidak perlu melalui cara-cara
kekerasan. Karenanya setiap individu
harus dihargai pilihan-pilihan aslinya, baik menyangkut jarak, waktu, maupun
jumlah anak. Kesepakatan tersebut juga
menggaris-bawahi peran sentral dari perempuan dan kaum muda dalam proses
pembangunan. Selain itu, kesepakatan
tersebut juga memberi penegasan tentang hak asasi semua manusia dan
pemberdayaan terhadap perempuan, yang hak-haknya acapkali diabaikan, dan
keterlibatan laki-laki. Kairo menjadi
salahsatu dari forum internasional pertama yang mengakui peran perempuan dalam
proses pembangunan dan memperjelas konsep hak reproduksi perempuan.
REVITALISASI PROGRAM KB INDONESIA
Akhir-akhir
ini muncul tuntutan yang kuat terhadap revitalisasi program KB di
Indonesia. Hal ini tampak misalnya pada
debat capres yang baru lalu. Tuntutan
ini wajar karena ada hal-hal yang mengkhawatirkan yang harus disikapi secara
serius oleh semua pihak.
Tuntutan terhadap
revitalisasi program KB di Indonesia muncul karena beberapa alasan:
1.
Adanya penurunan
kinerja program:
a. Angka fertilitas stagnan di era 2010an, yang jika
hal ini berlanjut berkembang lebih parah (mengalami kenaikan) harapan terjadi
window of opportunity tidak akan terwujud.
b. Lambatnya kenaikan angka prevalensi kontrasepsi
(CPR), di sejumlah daerah terjadi penurunan, yang mengindikasikan tidak
efektifnya pelayanan kontrasepsi, terutama kepada kelompok miskin.
c. Mix kontrasepsi yang tidak ideal dengan tingginya
pemakaian kontrasepsi injeksi dan rendahnya atau menurunnya pemakaian IUD dan
sterilisasi.
2.
Lemahnya
struktur kelembagaan keluarga berencana.
a. Rendahnya
efektivitas BKKBN dalam menjalankan fungsi koordinasi dan implementasi program.
b. Lemahnya kelembagaan KB di tingkat daerah baik dalam
hal anggaran, kualitas SDM, dukungan pimpinan daerah, maupun jejaring kerja di
daerah.
3.
Belum
terakomodasinya pendekatan hak individu (right
based approach) yang menjamin terpenuhinya hak semua individu, khususnya
perempuan, untuk mendapatkan pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi.
Diskusi
tentang revitalisasi KB sampai sejauh ini lebih banyak terfokus untuk menjawab
masalah pertama dan kedua, dan kurang mempersoalkan masalah ketiga, padahal
jika kita mengacu kepada konsensus Kairo, di situlah akar persoalannya. Upaya
untuk menurunkan fertilitas haruslah memperhatikan semua perempuan yang
berpotensi menciptakan fertilitas.
Karena itu tidak boleh ada diskriminasi dalam pelayanan keluarga
berencana dan kesehatan reproduksi terhadap kelompok individu tertentu.
Kehamilan tidak dikehendaki dan implikasinya (aborsi) akan dapat dihindari
hanya jika ada akses yang merata bagi semua individu dalam penggunaan
kontrasepsi dan adanya solusi yang memadai terhadap mereka yang gagal dalam
menggunakan kontrasepsi. Jika begitu
yang diperlukan bukan hanya sekedar revitalisasi KB, tetapi juga redefinisi dan
reorientasi program KB secara mendasar agar Indonesia dapat menjadi aset bagi
pencapaian tujuan ICPD lima tahun mendatang (ICPD+20).
Referensi :
Arjoso, S.
Rencana Strategis BKKBN. Maret, 2005.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan BKKBN. Sejarah Perkembangan Keluarga Berencana dan Program Kependudukan. Jakarta, 1981.
Makalah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.bkkbn.go.id
Pusat Pendidikan dan Pelatihan BKKBN. Sejarah Perkembangan Keluarga Berencana dan Program Kependudukan. Jakarta, 1981.
Makalah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.bkkbn.go.id
No comments:
Post a Comment