AZAS-AZAS
PENGETAHUAN LINGKUNGAN
1.
Latar Belakang
Ilmu
Lingkungan merupakan salah satu ilmu yang mengintegrasikan berbagai ilmu yang
mempelajari jasad hidup (termasuk manusia) dengan lingkungannya, antara lain
dari aspek sosial, ekonomi, kesehatan, pertanian, sehingga ilmu ini dapat
dikatakan sebagai suatu poros, tempat berbagai asas dan konsep berbagai ilmu
yang saling terkait satu sama lain untuk mengatasi masalah hubungan antara
jasad hidup dengan lingkungannya.
Asas di
dalam suatu ilmu pada dasarnya merupakan penyamarataan kesimpulan secara umum,
yang kemudian digunakan sebagai landasan untuk menguraikan gejala (fenomena)
dan situasi yang lebih spesifik. Asas dapat terjadi melalui suatu penggunaan
dan pengujian metodologi secara terus menerus dan matang, sehingga diakui
kebenarannya oleh ilmuwan secara meluas. Tetapi ada pula asas yang hanya diakui
oleh segolongan ilmuwan tertentu saja, karena asas ini hanya merupakan
penyamarataan secara empiris saja dan hanya benar pada situasi dan kondisi yang
lebih terbatas, sehingga terkadang asas ini menjadi bahan pertentangan. Namun
demikian sebaliknya apabila suatu asas sudah diuji berkali-kali dan hasilnya
terus dapat dipertahankan, maka asas ini dapat berubah statusnya menjadi
hukum. Begitu pula apabila asas yang mentah dan masih berupa dugaan ilmiah
seorang peneliti, biasa disebut hipotesis, Hipotesis ini dapat
menjadi asas apabila diuji secara terus menerus sehingga memperoleh kesimpulan
adanya kebenaran yang dapat diterapkan secara umum. Untuk mendapatkan asas baru
dengan cara pengujian hipotesis ini disebut cara induksi dan kebanyakan
dipergunakan dalam bidang-bidang biologi, kimia dan fisika. Disini
metode pengumpulan data melalui beberapa percobaaan yang relatif terbatas untuk
membuat kesimpulan yang menyeluruh. Sebaliknya cara lain yaitu dengan cara deduksi
dengan menggunakan kesimpulan umum untuk menerangkan kejadian yang spesifik.
Asas baru juga dapat diperoleh dengan cara simulasi komputer dan
penggunaan model matematika untuk mendapatkan semacam tiruan keadaan di
alam (mimik). Cara lain juga dapat diperoleh dengan metode
perbandingan misalnya dengan membandingkan antara daerah yang satu dengan
yang lainnya. Cara-cara untuk mendapatkan asas tersebut dapat dikombinasikan satu
dengan yang lainnya.
Asas di
dalam suatu ilmu yang sudah berkembang digunakan sebagai landasan yang kokoh
dan kuat untuk mendapatkan hasil, teori dan model seperti pada ilmu lingkungan.
Untuk menyajikan asas dasar ini dilakukan dengan mengemukakan kerangka
teorinya terlebih dahulu, kemudian setelah dipahami pola dan organisasi
pemikirannya baru dikemukakan fakta-fakta yang mendukung dan didukung, sehingga
asas-asas disini sebenarnya merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan
tidak dapat dipisahkan satu sama lain (sesuai dengan urutan logikanya).
Setiap
makhluk, apa pun macamnya, hanya dapat hidup dalam suatu lingkungan yang
kondisinya baik, atau paling tidak masih dalam rentang kisaran toleransinya.
Individu-individu suatu populasi makhluk hidup biasanya akan didapatkan di
tempat-tempat yang berkondisi optimum atau sekitar optimum untuk berbagai
faktor lingkungan. Sebaliknya, individu akan sangat jarang ditemukan di
tempat-tempat marginal, yaitu yang kondisinya buruk atau mendekati batas-batas
kondisi yang dapat ditolerir. Selain faktor kondisi, makhluk hidup juga harus
berada dalam lingkungan yang dapat menyediakan segala sumber daya
yang dibutuhkannya. Kondisi maupun sumber daya lingkungan
biasanya bervariasi menurut ruang dan waktu. Manusia pun, seperti makhluk hidup
lainnya, hanya akan tinggal di suatu lingkungan yang kondisinya baik (atau
kalau terpaksa, yang kurang baik tetapi yang masih dapat ditolerirnya), serta
yang dapat menyediakan sumber daya yang
diperlukannya, baik yang bersifat biotik maupun abiotik.
2.
Studi Pustaka
Pengetahuan
lingkungan (environmental science) merupakan ilmu yang relatif muda.
Kelahirannya sangat dipacu oleh kekhawatiran akan terjadinya krisis lingkungan
dan urgensi diperlukannya landasan pengetahuan yang memadai untuk melengkapi
keperluan pendidikan lingkungan. Pendekatan dalam pengetahuan lingkungan
bersifat multidisipliner dan interdisipliner, karena ilmu ini mengintegrasikan
beberapa cabang ilmu mengenai perikehidupan manusia serta kaitannya dengan
berbagai aspek lingkungan masyarakat (mis. sosiologi, ekonomi, seni-budaya,
politik, antropologi, pertanian-perikanan-kehutanan, rekayasa, planologi, ilmu
manajemen, matematika, geologi, biologi, kimia dan fisika). Asas-asas utama
yang digunakan sebagai landasan aspek keterkaitan, hubungan
pengaruh-mempengaruhi dan kesaling-bergantungan antara
manusia dengan lingkungan sosial, alami, ekonomi atau pun budayanya, adalah
asas-asas ekologi.
Tiga
tujuan utama dari pengetahuan lingkungan adalah untuk:
1. Memberikan pemahaman mengenai konsep-konsep dasar tentang
manusia dan lingkungannya.
2. Memberikan dasar-dasar kemampuan untuk melakukan analisis
mengenai permasalahan lingkungan aktual baik yang terjadi di tingkat lokal,
regional ataupun global; dan
3.
Memberikan contoh-contoh solusi alternatif tentang
bagaimana mengatasi permasalahan lingkungan melalui pendekatan ekologis dan
penerapan teknologis.
3. Studi
Kasus
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas
manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah.
Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap
barang atau material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis
sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena
itu pengelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari pengelolaan gaya hidup masyarakat.
Peningkatan
jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Dari Data menunjukan bahwa kota
Bandung setiap harinya menghasilkan sampah sebanyak 8.418 m3 dan hanya bisa
terlayani sekitar 65% dan sisanya tidak bisa diolah
Sampai saat ini pemerintah daerah kota Bandung masih
terus berinovasi mencari solusi menangani permasalahan sampah. Permasalahan ini
menjadi krusial karena ada kemungkinan Bandung menjadi “kota sampah” terulang
kembali. Ada beberapa permasalahan yang belum terselesaikan yang dapat
menyebabkan terulang kembalinya Bandung lautan sampah. Permasalahan yang dapat
menyebabkan Bandung kota sampah jilid kedua antara lain:
a. Kesadaran masyarakat Bandung yang
masih rendah sehingga, dengan tingkat kesadaran tersebut memberikan dampak yang
indikatornya adalah produksi sampah kota Bandung terus meningkat dari
7500M3/hari menjadi 8418M3/hari.
b. Kemampuan pelayanan PD kebersihan
kota Bandung yang terbatas. Kemampuan pelayanan penangganan sampah sampai saat
ini oleh PD kebersihan masih belum optimal, hal tersebut terbukti lembaga ini
hanya dapat melayani pengelolaan sampah hanya sekitar 65%.
c. Sampah organik merupakan komposisi
terbesar dari sampah kota Bandung. Permasalahan yang terjadi sampah yang
dibuang masyarakat tidak memisahkan antara sampah organik dan non organik.Hal
tersebut menyebabkan pengelolaan sampah menjadi lebih sulit dan tidak efesien.
d. Lahan TPA yang terbatas. Luas daerah
kota Bandung 16730 ha, hal tersebut menyebabkan tempat penampung sampah akhir
yang berada di kota Bandung sangat terbatas. Hal tersebut mengakibatkan lokasi
penampung harus ekspansi melalui kerja sama dengan pemerintahan daerah
tetangganya. Permasalahan koordinasi merupakan permasalahan utama, apalagi
kalau ada konflik dimasyarakat.
e. Penegakan hukum (law inforcement)
tidak konsisten. Pemerintah kota Bandung dan DPRD kota Bandung telah
mengeluarkan kebijakan yaitu Undang-undang No 11 tahun 2005: perubahan UU No 03
tahun 2005 Tentang penyelenggaraan ketertiban, kebersihan dan keindahan. Pada
undang-undang tersebut diatur mengenai pengelolaan sampah dan sanksi-sanksi
bagi masyarakat yang melanggarnya. Akan tetapi undang-undang tersebut tidak
dilaksanakan tidak konsisten.
4. Analisa
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh
perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan
alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan
masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani
semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah
yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat
mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada
tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga
prinsip–prinsip baru.
Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan
menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus
dijadikan prioritas utama. Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap
bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke
sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan
industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan
proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan
alur sampah. Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari
material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat
mengkontaminasi atau mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur
ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan,
suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis
dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang maka perlu
dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan
penggunaannya.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan
kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota
lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak
begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara
maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya.
Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu
komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan
peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan
sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di
Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang
sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan
mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan,
sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting
dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan
kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak
untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa
bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga
merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang
sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan
kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai
industri.
Daftar Pustaka
Santoso, Budi.
1999. Ilmu Lingkungan Industri.
Depok: Gunadarma.
Soeriatmadja,RE.(1981). Ilmu Lingkungan. Bandung: ITB
Soeriaatmadja,
R.E., 1989, Ilmu Lingkungan, Edisi
ke-IV, ITB, Bandung.
Tandjung, S.D., 1999, Pengantar Ilmu Lingkungan, Laboratorium Ekologi, Fakultas Biologi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Mind Map
No comments:
Post a Comment